Laman

Rabu, 28 Desember 2011

Manunggaling Rasa

Manunggaling Rasa
Ini kali pertama saya berujar tentang sesuatu yang mendalam dari hal Jalan Kembali Manusia, mula yang utama adalah membelah 'tabir diri' agar terbuka kesejatian manusia yang ngancik di raga badan, selama ini kita kenal 'aku' adalah unsur pada badan yang dilengkapi dengan beribu angan, hasrat, keinginan yang secara sadar atau tidak disadari kita memiliki kelemahan untuk menggapainya. Hal ini sebenarnya awal dari pencarian pada sesuatu yang kuat, bahkan harus paling kuat, malah bila mungkin Maha Kuat yang harus kita sanding, atau 'aku' bersanding dengan Maha Kuat, bahkan kalau boleh 'aku' inginnya manunggal dengan itu kekuatan yang paling MAHA ... waduh hebatnya keinginan.

Ada satu kekuatan yang dititipkan oleh yang Maha Kuat bersama ketetapan pada badan, yang pertama adalah 'gerak'; hal ini merupakan tanda nyata atau 'ayat Allah' akan adanya Hidup (Hayat; sifat Allah) yang dititipkan pada jasmani untuk mengatur wujud, ada gerak yang disadari oleh otak bahkan berkaryanya atas perintah otak, namun ada gerak yang tanpa didayai oleh kerjanya otak, bisa disebut 'daya gerak tanpa daya' tujuannya supaya bisa tetap hidup sampai waktu yang ditentukan.  Bayangkan jika otak terganggu, jantung harus berhenti berdetak karena sang otak berhenti memerintah. Adapun untuk mengenal lebih dalam tentang adanya 'daya gerak tanpa daya ' yang ngalimpudi (meliputi dan menguasai) seluruh geraknya wujud, serta bagaimana kekuatan yang diperoleh jika 'aku' memasrahkan sepenuhnya urusan raga badan ini kepada 'hal' itu, maka uraian dan tuntunannya harus langsung berhadap-hadapan dengan sang pembimbing pada acara Gemblengan Batin khusus pada malam-malam Riyadhoh Nafsiah, maka disitulah akan dibuka dan dipergelarkan akan ADAnya.

Adapun yang lainnya adalah keinginan atau  karep, karsa, kemauan;  ini lebih gagah lagi, sebab ini adalah Iradah; sifat Allah yang sengaja ditipkan pada jasmani untuk mengatur sebaik-baiknya berjalannya Nafsu, awas ingat berjalannya nafsu, bukan sakarepe dewe, maka jika ada nafsu berjalan semaunya; ini jelas 'tidak manunggaling iradah' artinya tidak menyatu dengan keinginan yang Maha Kuat tadi; sebab apa ? karena pada raga badan ini mengendap saripati dari unsur-unsur pembentuk jasmani itu tadi; yaitu tanah, api, air dan udara, masing-masingnya memiliki sifat yang mandiri dan kesemuanya itu potensial untuk baik dan buruknya manusia. Namun hal itu tetap bukanlah 'aku', karena sang 'aku' hanya menjadi saksi serta menerima hasil dari polah sedulur papat itu tadi, rugi dong nggak berkarya nanggung akibat ? lho ... ya nggak gitu, sebab buah akibatnya pun sebenarnya hanya untuk jasmaninya pula, tapi apa boleh dikata karena kita tahunya bahwa 'aku' ini adalah jasmani yang ini, ya ... jadi merasakain buah akibatnya dari tingkah polah dan karya sedulur papat yang tadi itu,  nah ... inilah kompleksnya hidup.

Setelah merasakan 'baru tahu' kepada rasa, yang nikmat, menyenangkan, membahagiakan, menggembirakan hal seperti itu yang dipamrih datang berulang-ulang, tapi sadari dong; kita tahu ini nikmat karena kita pernah tahu tersiksa, tahu menyenangkan karena pernah tahu menyebalkan, tahu membahagiakan karena pernah tahu penderitaan, tahu menggembirakan karena pernah tahu menyedihkan, semuanya asli berpasang-pasangan, maka ketika merasakan salah satunya ingat bahwa pasangannya bisa saja sekonyong-konyong datang tanpa undangan, lagi susah jangan kecil hati, lagi senang jangan besar kepala, ingat harus tetap dikembalikan kepada rasa.

Betapa ajaibnya sang 'aku', adapun rasa itu terlahir karena masih adanya hidup pada badan, tapi mengapa kok ... rasa berpengaruh besar pada hidup, "merasakan sengsara; hidupnya jadi tersiksa", padahal jelas disadari betul adanya rasa karena adanya hidup, jangankan mati; baru tidur saja rasa susah dan sengsara harus mundur teratur dan tersimpan pada tempat yang aman untuk nantinya dijemput kembali, contohnya dikala kita tidur nyenyak bahkan sebelum tidur itu terjadi, maka harus menyingkir dulu penderitaan dan kesengsaraan, karena sebelum menyingkir susah untuk bisa tidur, tetapi bangun tidur malah dijemput kembali sang derita itu, kok ya ... aneh,  untuk itu kuncinya adalah ketika kita hidup harus berlatih mati, maka kondang istilah 'mati sajeroning urip'  artinya mati selagi masih hidup, apa bisa ? ya bisa; sholat itu sarananya, sholat itu alatnya, sholat itu kendaraannya, untuk bisa tercapainya kesempurnaan rasa, bahkan sampai bisa manunggaling rasa dengan yang Maha Kuat.

Kalau 'aku' merasa kuat, maka malu ketika datang rasa ngantuk, leher kaya dipites ngampleh bagai tak bertulang, kalau  'aku' merasa mampu mengendalikan kemauan, maka malu ketika bergegas lari ke WC ketika datang ingin BAB (buang air besar) yang datang mendesak, maka 'aku' merasa lemah ketika dimanunggalkan dengan yang Maha Kuat.

ditulis oleh : Abu Marali ;
0

Add a comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar